Rahasia Dibalik Produktivitas Menulis Para Ulama


Jika kita membaca sejarah kehidupan para ulama, akan kita dapatkan produktivitas mereka dalam beramal saleh. Mereka adalah ahli ibadah, juru dakwah, rajin menuntut ilmu, ditangan mereka kitab-kitab bermutu ditulis. Bagaimana mereka bisa sehebat itu? Di sepertiga malam mereka bangun untuk qiyamul lail, setelah itu mengerjakan shalat shubuh dan berdzikir hingga waktu dhuha. Setelah itu mereka mengajar atau menulis kitab. Di malam harinya mereka beribadah, membaca buku, atau menulis kitab. Jika ada waktu luang, mereka tidak pernah habiskan untuk hal yang tidak bermanfaat.

Subhanallah, di antara mereka terdapat nama Imam Ibnu al-Jauzy, Imam al-Ghazali, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Katsir, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Asqolani, dan sebagainya. Jika mereka beribadah, sungguh sangat lama sekali; ruku’, sujud, dan berdirinya lama. Jika mereka sedang membaca kitab, mereka berkonsentrasi penuh sehingga kitab itu seolah telah memutuskan dirinya dari dunia luar. Jika mereka berdakwah, ratusan hingga ribuan orang asyik mendengar ceramahnya. Ia tidak hanya menyampaikan ilmu satu jam atau dua jam saja, tetapi dari pagi hingga sore dengan ketekunan yang luar biasa. Di antara mereka ada yang telah menulis puluhan hingga ratusan buku. Imam Jalaluddin as-Suyuti dikabarkan telah menulis 600 jilid. Imam Ibnu Taimiyah dikabarkan telah menulis 500 jilid. Sementara Imam Abu Bakar al-Anbari telah menulis 400 jilid. Subhanallah, sungguh sangat banyak karya tulis yang telah mereka buat.

Ibnu Aththar berkata, “Guru kami an-Nawawi menceritakan kepadaku bahwa beliau tidak pernah sama sekali menyia-nyiakan waktu, tidak di waktu malam atau siang bahkan sampai di jalan beliau terus dalam menelaah dan menghafal.”

Imam Ibnu Katsir mengatakan tentang Imam Ibnul Qayyim, “Beliau seorang yang bacaan al-Quran serta akhlaknya bagus, banyak kasih sayangnya, tidak iri, dengki, menyakiti atau mencaci seseorang. Cara shalatnya panjang sekali, beliau panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga banyak di antara para sahabatnya yang terkadang mencelanya, namun beliau rahimahullah tetap tidak bergeming.”

Imam Ibnu Katsir berkata lagi, “Beliau rahimahullah lebih didominasi oleh kebaikan dan akhlak shalihah. Jika telah usai shalat Shubuh, beliau masih akan tetap duduk di tempatnya untukdzikrullah hingga sinar matahari pagi makin meninggi. Beliau pernah mengatakan, ‘Inilah acara rutin pagi buatku, jika aku tidak mengerjakannya nicaya kekuatanku akan runtuh.’ Beliau juga pernah mengatakan, ‘Dengan kesabaran dan perasaan tanpa beban, maka akan didapat kedudukanimamah dalam hal din (agama).’”

Pada zaman itu, memperoleh buku sangatlah susah. Tidak seperti zaman sekarang. Di zaman sekarang, kita kebanjiran informasi. Seolah kita tidak perlu lagi mencari informasi, tetapi informasilah yang mencari kita. Dulu, kita hanya mengenal kuda dan unta untuk kendaraan darat, sekarang kita mengenal motor dan mobil. Jika dipikir-pikir, seharusnya zaman sekarang ini, kita dapat lebih produktif dalam berkarya. Jika kita menulis, maka karya tulis yang kita buat seharusnya lebih banyak daripada para penulis zaman dahulu. Bukan sebaliknya! Zaman sekarang ini kita serba cepat tapi lemah; ilmu cepat hafal tapi cepat pula hilangnya. Kita mengenal metode belajar cepat ala quantum learning dan accelerated learning. Kita dimanjakan oleh berbagai kemudahan yang pada akhirnya akar jati diri dan pengetahuan kita yang seharusnya menghujam ke bumi, tidak kuat, sehingga kita menjadi malas, mudah lupa, dan terkesan menunda-nunda pekerjaan.

Zaman dulu tidak ada komputer. Buku-buku yang mereka buat ditulis tangan. Kalau tidak karena ketekunan yang luar biasa, menulis dengan cara kuno seperti itu akan memakan waktu yang sangat lama. Kita membuat sebuah buku dengan mengetik di komputer saja sudah sangat lama, apalagi kita harus menulis buku dengan tulisan tangan! Bagus kalau dapat dibaca, tapi kalau tidak, bagaimana? Siapa yang mau membaca tulisan yang amburadul itu, yang penuh dengan coretan dan koreksian di sana-sini? Bagaimana mungkin pembacanya dapat mengerti? Mungkin memegang bukunya saja sudah tidak mau, apalagi membacanya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari dalam Perjuangan Bangsa

Manfaat Mempelajari Tafsir Alquran

Akibat Berbuat Zalim

Tiga Sebab Keruntuhan Peradaban Islam di Andalusia

Mengapa Banyak Orang Barat Menjadi Ateis?