Tetap Produktif Menjelang Wafat

Imam Ibnu Al Jauzy berkata, “Orang berakal adalah yang tahu bahwa dunia ini tidak diciptakan hanya untuk mencari kesenangan, karenanya dalam kondisi apa pun ia harus konsisten dalam menggunakan waktunya secara tepat.”

Sungguh sebuah ungkapan yang menarik. Dalam kondisi apapun kita harus konsisten menggunakan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat, tak terkecuali disaat kita sakit hingga menjelang wafat. Para ulama kita dibawah ini telah memberikan contoh yang baik bagaimana mereka tetap konsisten dalam menjaga waktunya meskipun mereka saat itu sedang sakit berat yang berujung pada kematian.

Ibrahim bin al-Jarrah berkata, Imam Abu Yusuf Al-Qadhi rahimahullah sedang sakit. Saya pun menjenguknya. Saat itu dia tidak sadarkan diri. Ketika terjaga, beliau lalu bersandar dan mengatakan, "Hai Ibrahim, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?' Saya menjawab, 'Dalam kondisi seperti ini?' Dia mengatakan, "Tidak mengapa, kita terus belajar. Mudah-mudahan ada orang yang terselamatkan karena kita memecahkan masalah ini." Lalu saya pulang, ketika baru sampai rumah, saya mendengar kabar bahwa beliau telah wafat.

Ibnu Asy Syahnah adalah seorang hafidz hadits yang bermadzhab Hanafi yang memiliki umur lebih dari 100 tahun dan masih mampu melaksanakan puasa Ramadhan dan 6 hari setelah Syawal di usia 100 tahun.

Sehari sebelum wafatnya ulama Damaskus ini, murid beliau Muhibbuddin bin Muhib membaca Shahih Al Bukhari di hadapan beliau. Kemudian di keesokan harinya di waktu dhuha beliau kembali menyimak As Shahih dan wafat sesaat sebelum dhuhur tahun 730 H. (Dzail Tadzkirah Al Huffadz, hal. 134-135)

Ibnu Malik, ulama nahwu memiliki semangat yang cukup tinggi dalam mencari ilmu. Hal ini tercermin dari kesungguhan beliau menghafal ilmu meskipun ajal hendak menjemput. Dimana beliau sempat menghafal delapan bait ilmu, di hari wafatnya beliau. Di saat beliau sedang sakit keras, putranya membantu mendiktekan bait tersebut (Nafh At Thayib, 2/222, 229).

Abu Hasan Al Walwaliji pada tahun 440 H, menjenguk Abu Raihan Al Biruni, seorang ahli falak dan sastrawan di zaman itu. Ulama ini sakit keras di tengah usianya yang mencapai 78 tahun. Kala itu nafasnya terdengar mengorok di tenggorokan dan beliau terlihat susah bernafas. Dalam keadaan demikian, beliau mengatakan kepada Al Walwaliji,"Apa yang pernah engkau katakan kepadaku pada suatu hari, mengenai pembagian jaddat fasidah (nenek dari jalur ibu)?"

"Apakah dalam kondisi seperti ini pantas (membahas hal itu)?" Jawab Al Walwaliji, menaruh belas kasihan. "Wahai Al Walwaliji, saya meninggalkan dunia dalam keadaan mengetahui masalah ini, lebih baik daripada saya meninggalkannya dalam keadaan jahil terhadapnya."

Akhirnya Al Walwaliji mengulangi apa yang pernah beliau sampaikan sebelumnya. Dan Abu Raihan pun menghafalnya. Tidak lama kemudian, Al Walwaliji keluar, dan saat di jalan beliau mendengar teriakan. Ternyata Abu Raihan telah wafat. Rahimahullah Ta’ala. (Mu’jam Al Udaba`, 17/181,182).

Al-Jariri berkata, "Saya berada di kepala Junaid ketika menjelang kematiannya. Pada saat itu dia sedang membaca Al-Qur’an dan saya berkata kepadanya,"Kasihanilah dirimu.”"(yakni, jangan engkau memberatkan dirimu dengan membaca Al-Qur’an pada saat menjemput). Dia menjawab,"Apakah ada orang yang lebih membutuhkan pahala dariku pada saat seperti ini, dan inilah diriku. Buku catatan amalku hampir ditutup." Al-Jariri berkata,"Junaid telah mengkhatamkan Al-Qur’an, dia kemudian memulai lagi dengan surat Al-Baqarah dan telah membaca tujuh puluh ayat, kemudian dia wafat." (Thabaqat Asy-Syafiiyah, As-Subki, juz 4). 

Imam Abu Ishak An-Naisaburi rahimahulloh sedang menghadapi ajalnya. Sepanjang hari itu dia berpuasa. Dia berkata kepada anaknya, “Buka kelambu,” kemudian dia berkata lagi, "Saya haus." Lalu anaknya membawakan air untuknya. Abu Ishak berkata, “Apakah matahari telah terbenam?” Anaknya menjawab,"Belum." Maka Abu Ishak mengembalikan air tersebut, lalu dia berkata, "Untuk seperti inilah hendaknya orang-orang beramal." Kemudian ruhnya pergi kepada Tuhannya. (Tarikh Baghdad, Al-Khatib Al-Baghdadi, juz 6)

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahulloh adalah orang yang selalu memperbanyak dzikir kepada Alloh Ta’ala. Hingga dia meninggal dalam keadaan bertasbih yang dia hitung dengan jarinya. (Syadzarat Adz-Dzahab, Ibnul Ahmad Al-Hambali, juz 5).

Semoga Allah merahmati mereka dan menjadi cambuk bagi kita untuk tetap konsisten dalam menjaga waktu dengan kegiatan yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari dalam Perjuangan Bangsa

Manfaat Mempelajari Tafsir Alquran

Akibat Berbuat Zalim

Tiga Sebab Keruntuhan Peradaban Islam di Andalusia

Mengapa Banyak Orang Barat Menjadi Ateis?